Sejarah Aceh Sebelum Masa Kesultanan.
RAHMATUL ULYA.
Mesjid Baiturrahman. |
Pengantar
Pertama-pertama perlu saya jelaskan bagaimana saya dapat memberikan makalah tentang sejarah Aceh ini. Pada tahun 1975, pada waktu saya masih kerja di Medan dan sebelum saya berangkat ke Cornell untuk belajar untuk S2 dan S3, berdasarkan minat saya belajar tentang sejarah Aceh, Alm H. Mohd Said, pemilik Harian Waspada dan penulis buku Atjeh Sepanjang Abad menawarkan sebuah kunjungan bersama ke Aceh.
Kami telah mengunjungi beberapa situs2 purbakala sekitar Lhokseumawe maupun Aceh Besar, termasuk desa Lambaro Neujid, atau situs Indrapurwa di Kec. Lambadeuk maupun benteng Indrapatra di desa Ladong dan Benteng Iskandar Muda diseberang dari desa Meunasahkeude di Kec. Mesjid Besar di wilayah Krueng Raya. Pada waktu itu kami tidak sempat melanjutkan perjalanan ke desa Lamreh atau melihat bekas Benteng Inong Bale atau Kuta Lubhok di Ujung Batee Kapal. Pembatalan mengunjungi desa Lamreh pada waktu itu berakibat pada kekeliruan pendapat saya tentang penemuan di Lambaro Neujid di Lhok Lambaro sewaktu saya menulis sebuah makalah tentang “Beyond Serandib, A Note on Lambri at the northern tip of Aceh” dalam majalah Indonesia46, tahun 1988. Akhirnya, sesudah tsunami tgl. 26 Desember 2004, berdasarkan pengalaman di bidang pembangunan selama hampir dua tahun di program pasca tsunami di UNDP ERTR sebagai konsultan livelihood pada hari2 bebas dari tugas tsb., kami sempat mengunjungi kembali beberapa situs purbakala di pantai Aceh Besar. Terutama di wilayah Lambaro Neujid dan Lamreh.
Makalah ini adalah hasil analisa data yang telah dikumpulkan selama 35 tahun, terutama hasil penemuan masa waktu bekerja di Aceh tahun 2005 s/d tahun 2007 dan penelitian dengan tim kerjasama Puslitarkenas dengan Singapore Earth Observatory, Singapore Technical University, tahun 2010 dan 2011. Berdasarkan pengalaman ini saya berusahakan mengadakan holistic approach demi masalah2 sejarah Aceh sebelum muncul Kesultanat itu pada akhir abad ke15 atau awal abad ke16.
Sejarah Aceh sebelum Aceh
Semua orang tahu bahwa sejarah Aceh sebagai suatu kesultanat yang gagah berani muncul di Aceh Besar pada akhir abad ke 15 atau awal 16 dengan cukup gemilang. Akan tetapi bukti2 atau bekas kesultanat itu, yaitu ‘tangible evidence’sangat terbatas. Memang ada banyak tulisan dalam beberapa bahasa tentang kekayaan dan keagungan Aceh selama beberapa ratus tahun.
Banyak naskah juga menceritakan kejadian2 yang telah terjadi selama masa itu. Hanya, peninggalan fisik nampaknya sangat terbatas. Situs keraton Kesultanat Aceh telah dihancurkan dan dipunahkan oleh Belanda sesudah Aceh ditaklukkan pada akhir abad ke19. Hanya tinggal satu atau dua monument seperti Gunungan dan Pintu Khob maupun aliran sungei Krueng Alui Daru sebagai bukti lokasi kerajaan tersebut. (Ismail Sofyan dkk 1990).
Lain daripada itu, yang membuktikan kejayaan Aceh selama kurang lebih lima ratus tahun hanyalah beberapa makam dan batu Aceh yang masih dapat dilihat dibeberapa lokasi di Kota Banda Aceh maupun sekitar Aceh Besar dan wilayah lainnya. Pada umumnya nisa-nisan batu Aceh itu kurang dilestarikan. Banyak nisan kuno sudah hilang, digilas dan dirusak oleh tsunami atau dicuri untuk menjadi batu gosok (akik). Dan walaupun tradisi batu Aceh cukup terkenal, ada tradisi nisan lainnya yang hanya terdapat di beberapa lokasi tertentu yang terpakai pada saat yang sama dengan masa awal persediaan batu Aceh sebagai nisan, yaitu yang disebutkan sebagai nisan ‘plang pleng’. Selama ini, nisan plang pleng ini terdapat di Gampong Pande (Makam Tuan di Kandang dan Makam Putroe Idjoe) dan salah satu lokasi lainnya di Banda Aceh, di desa Lamreh, terutama di Ujung Batee Kapal dan Lubhok, di beberapa makam di Pase dan di satu atau dua lokasi di wilayah Daya di pantai barat Aceh. Sebagaian besar lokasi ini, kecuali nisan yang ada di Ujung Batee Kapal, telah didaftarkan dan diinventarisasi oleh Guillot & Kalus (2009). Kami telah berusaha untuk mengadakan inventarisasi nisan di bagian daratan diatas Ujung Batee Kapal, karena situs di desa Lamreh ini dapat dikaitkan dengan nama Lamri, Lamuri, Lanwuli atau Lan-wu-li dalam sumber Arab, Armenia, Cina, Keling dan Melayu sejak abad ke 9 sampai dengan abad ke 15 Masehi,
Penemuan di Desa Lamreh
Makam di belakang Kuta Lubhok, di pantai Lhok Lubhok telah dikenalkan umum sejak kunjungan oleh Alm Suwedi Montana dkk pada tahun 1995. Pada waktu itu, dilaporkan dalam majalah Archipel bahwa terdapat nisan Sultan Suleiman bin Abdullah bin Bashir yang wafat pada tahun 608 H, atau 1206 M. Sayangnya makam kuno di belakang Kuta Lubhok telah banyak mengalami gangguan dan kerusakan. Sampai sekarang makam kuno tersebut belum didaftarkan sebagai Cagar Budaya oleh BP3 Aceh & Sumut. Nisan Sultan Suleiman tsb. telah menghilang karena tanggal wafatnya Sultan Suleiman hampir seratus lima puluh tahun lebih awal dari epitaph lainnya di makam itu. Guillot & Kalus (2008)bercuriga dan menganggap bahwa nisan itu mungkin tidak pernah ada atau mungkin saja salah baca. Epitaph2 lainnya di makam Kuta Lubhok itu semuanya dari abad ke 13 s/d 14 M (lihat lampiran).
Walaupun Suwedi Montana dan Guillot & Kalus telah mengunjungi makam di Kuta Lubhok, nampaknya mereka tidak tahu bahwa ada banyak sekali nisan tua, yang merupakan batu Aceh maupun nisan plang pleng di atas daratan tinggi tanjung Ujung Batee Kapal di desa Lamreh. Saya telah mengunjungi Benteng Inong Bale di Ujung Batee Kapal (UBK) pada tahun 1997 bersama dengan Drs Nurdin A.R., sekarang Direktur Museum Negeri Aceh, Alm Drs Lukman Nurhakim, pada waktu itu Kepala Bagian Islam di PuslitArkenas, dan Dr P-Y Manguin dari EFEO. Pada waktu itu, saya melihat ke bawah dari ujung benteng ke lokasi yang dinamakan Lhok Cut terdapat jalur air dalam antara karang dari air yang dalam di Krueng Raya ke pantai. Kami turun ke pantai di Lhok Cut dan di sana langsung menemui banyak beling tembikar, bekas crucible (tempat pemasakan logam) dan batuan keramik Cina dari masa Yuan (1278-1360 M) maupun sebuah nisan jenis plang pleng yang pada waktu itu dibawa ke Museum Negeri Aceh. Dr Manguin telah mengambil contoh arang dari sebah crucible di dalam lapisan tanah dasar di Lhok Cut untuk carbon dating dengan hasil. Sesudah itu kami sempat kembali beberapa kali ke UBK dengan hasil penemuan beling2 kuno dan beberapa nisan tua yang diportret pada waktu itu. Berdasarkan penemuan waktu itu saya telah susun beberapa tulisan singkat dalam Bahasa Inggeris tentang pentingnya peninggalan purbakala di UBK di desa Lamreh.
Pada tahun 2010 dan awal tahun 2011, Puslitarkenas bersama denganSingapore Earth Observatory (SEO/NTU) melakukan penggalian teratur di pinggir pantai Lhok Cut dan Lhok Lubhok sebelah barat laut dari benteng Kuta Lubhok. Di Lhok Cut, berhasil ditemukan banyak tembikar maupun keramik Cina dari masa Yuan. Di pantai Lubhok, tim SEO menemukan sisa2 lapisan karang dalam tebing pantai yang telah dihancurkan dalam keadaan kecil2an seperti kerikil. Karang ini di analisis di laboratorium dan diperoleh bukti bahwa telah ada tsunami kuno yang menghantam pantai ini pada tahun 1450 M (keterangan dari K. Sieh 2011).
Pada awal tahun 2011, ada yang membuka lahan dengan sebuah bulldozer pada lahan di atas UBK, tepat di atas lokasi Lhok Cut. Pembukaan lahan ini langsung menunjukkan bahwa lokasi ini adalah bekas permukiman kuno dari abad ke13/14 M. Saudara Deddy Satria, seorang arkeolog independent di Banda Aceh bersama kami telah menemukan banyak sekali beling kuno, pecahan kaca kuno dari India Selatan, jenis2 tembikar yang dibuat di beberapa lokasi di Asia Selatan (India maupun Sri Lanka) dan artifak lainnya dari kerusakan tanah galian di lokasi ini. Berarti, lokasi ini pernah jadi pemukiman dan merupakan tempat yang cukup ramai sekitar 600-700 tahun yang lalu. Beling2 yang dikumpulkan dari atas tanah yang telah didozer itu merupakan pecahan keramik Cina masa Yuan, yaitu mangkok2 blau putih dari dapur keramik Jiangxi, pecahan batuan Yuan berglasir hijau dari Fujian, pecahan batuan Cizhou dengan hiasan coklat, dan pecahan batuan Zhejiang dengan glasir hijau (celadon) yang bermutu tinggi.
Ada juga keramik berglasir biru dari Persia (Iran) maupun sedikit artefak besi maupun tembaga dan batu. Sayangnya lokasi ini maupun situs UBK belum didaftarkan atau dilindungi oleh UU N0.11, Tahun 2010, terutama karena PB3 belum mengerti pentingnya situs yang seluas 200 hektare ini. Wilayah di atas UBK merupakan suatu permukiman kuno Islam yang tua sekali dan mungkin saja lebih tua – apabila pembacaan epitaph Sultan Suleiman tersebut benar yang berasal dari situs Samudera Pase di wilayah Kec. Geudong dekat Lhokseumawe. Telah dibuktikan dengan carbon dating bahwa situs ini telah diduduki oleh sebuah kelompok saudagar Keling sejak pertangahan abad ke 13, yaitu akhir dinasti Song Selatan dan/atau awal dinasti Yuan di Tiongkok. Mungkin saja kelompok pedagang ini adalah anggota Kelompok Anjuvanam. Kelompok Anjuvanam adalah sebuah kelompok pedagang atau merchantile guild yang terdiri dari anggota beragama Islam (maupun pedagang Jahudi dan Kristen) pada abad ke12 s/d 14 m (Karashima & Subbarayalu 2002: 87). Hubungan jaringan daganga kelompoknya itu berjarak dari Lautan Merah dan Mesir melalui Telok Persia, India dan Sri Lanka maupun Selat Melaka ke Quanzhou di Cina Selatan.
Sumber-sumber Arab dari abad ke 9, sumber India dari abad ke 11, Armenia dari abad ke … dan Cina dari abad ke 13 semuanya menyebutkan nama Lamreh dalam bentuk bermacam-macam, yaitu Rami, Ramni, Ilamuridesam, Lamuri maupun Lan-wu-li. Berarti pantai Aceh Besar ini cukup terkenal pada masa tersebut.
Situs UBK di desa Lamreh wajib dilindungi oleh UU N0.11, Tahun 2010 dan apabila boleh dikelolah sebagai Taman Purbakala dan objek wisata budaya khusus sejarah Islam untuk akan menjadi sebuah profit centre utk masyarakat setempat. Bukan saja pemandangannya indah, tetapi suasana tanjung itu juga adem sekali
Penemuan di Desa Ladong (Cot Me) pada tahun 1996, oleh seorang petani tambak di Cot Me bernama Hasballah telah berhasil menemukan pecahan keramik kuno di dalam tambaknya. Pernah juga di lokasi yang sama menemui tiga guci kuno dengan isi tulang manusia. Tulang2 ini dikubur kembali di lokasi itu. Sesudah dianalisis, pecahan2 keramik maupun tembikar yang dalam tambak itu merupakan tembikar lokal, keramik batuan Guangdong dari Cina dari masa Song Utara (960-1127 M), keramik lainnya dari dapur Fujian maupun Zhejiang dari Song Selatan (1127-1268 M) maupun Yuan (1278-1360 M). Ada juga tembikar berglasir dari Persia dan sejenis tembikar halus yang disebutkan Fine Paste Ware(FPW) dari Champa (Vietnam Selatan) yang dianggap diimpor diantara abad ke 9 s/d abad ke11 atau awal abad ke 12, – sebagian penemuan ini adalah lebih tua dari penemuan di UBK. Pada awal tahun 2011, keramik sejenis juga ditemui dekat2 bekas jalur sungei Ladong dekat benteng Indrapura, maka kami berpendapat bahwa wilayah ini perlu diselidiki dengan teliti agar menemukan situs permukiman kuno yang sezaman dengan penemuan Cot Me. Penemuan ini membuktikan bahwa wilayah ini telah diduduki pada masa perkembangan kerajaan Lamri.
Penemuan pecahan keramik ini yang boleh dikatakan sebagai sampah domestik purba, membuktikan bahwa ada permukiman bersejarah di wilayah Ladong itu jauh sebelum kemunculan kesultanat Aceh pada awal abad ke 16 dan bangunan benteng Indrapatra pada pertengahan abad ke16. Boleh ditanyakan, kenapa wilayah ini penting pada masah kuno itu. Kemungkinan besar jawabannya adalah air bersih. Tidak jauh dari Cot Me ada sebuah pancuran besar yang sekarang telah dipipakan dan dijalurka ke wilayah Krueng Raya. Dahulu air dari pancuran ini mangalir ke pantai melalui sungei Ladong yang sekarang hampir kering.
Lamnga, Kec. Neuheun
Di belakang desa Lamnga ada bekas aliran sungei yang dirobah menjadi tambak ikan. Dalam proses pengalian tambak tsb., masyarakat telah mengangkat pecahan keramik dari masa Yuan yang mirip-mirip dengan penemuan di Lhok Cut, Lamreh, maupun beling yang sama dengan penemuan di Gampong Pande maupun Lambaro Neujid . Pecahan keramik kuno ini yang terdiri dari batuan asing dari Cina, Muang Thai dan Vietnam membuktikan bahwa pernah ada permukiman kuno di wilayah ini. Situs permukiman ini belum diselidiki secara ilmiah dan dengan ekskavasi teratur. Walaupun begitu, penemuan ini adalah penambahan yang cukup penting dalam rangka sejarah Aceh sebelum abad ke 15 M.
Gampong Pande, Kec. Kuta Raja, Banda Aceh
Situs Gampong Pande beserta dua makam kuno, yaitu Tengku di Kandang [TK] dan Puteroe Ijo, adalah situs permukiman kuno yang juga mengalami kerusakan dari ‘subsidence’. Banyak nisan
yang diluar benteng lautnya telah dirusak oleh air laut sejah tsunami Desember 2004. Berdasarkan bukit dari nisan yang ada di Makam Tengku di Kandang (maupun Putroe Ijo, )walaupun tanpa tanggalnya) boleh dikatakan bahwa situs Gampong Pande adalah permukiman kuno sebelum muncul masa kesultanat Aceh. Hal ini dapat diperkuat dengan penemuan pecahan keramik masa Song Selatan (abad ke 13) atau Yuan (abad ke 13/14) sekitar 100 m. diluar benteng lautnya pada tahn 2007. Kehadiran nisan gaya plang pleng yang berprasasti tahun 849 H., 1446 M. [TK 1/03] dan 865 H., atau1460 M.[TK 1/04), juga memperkuat kesimpulan ini. Epigraph yang termuda dari nisan plang pleng di komplek Tengku di Kandang adalah 888 H. atau 1483/1484 (Guilot & Kalus 2008: 326-336).
0 comments:
Post a Comment